Tragedi 98
Pada tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti bernama Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie tewas ditembak oleh aparat ketika melaksanakan aksi menuntut penurunan (saat itu) presiden Suharto di halaman kampusnya. Besoknya, tanggal 13 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai universitas Jakarta, Bogor, dan Bekasi berkunjung ke Universitas Trisakti untuk melawat dan menyatakan dukanya atas kematian empat mahasiswa tersebut. Kejadian tersebut berakhir ricuh. Kericuhannya tidak hanya terjadi di Universitas Trisakti, tetapi secara bersamaan menyebar ke seluruh area Jakarta, Medan, dan Solo. Kericuhan baru mereda pada tanggal 15 Mei 1998 dengan pengerahan aparat kepolisian dan militer. Di hari yang sama, Suharto memutuskan untuk memotong kunjungannya ke Mesir dalam rangka G-15 dan menghimbau mahasiswa untuk kembali ke kampus masing-masing. Pada tanggal 21 Mei 1998, Suharto mengundurkan diri dari kursi Presiden, digantikan wakilnya B.J. Habibie.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Menelusuri Jejak Mei ‘98
Sebelum menelusuri lebih dalam, ada baiknya kita melihat kembali kejadian-kejadian yang terjadi sebelum kerusuhan 13–15 Mei 1998. Kerusuhan Mei ’98 bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontan, tetapi merupakan puncak dari rangkaian kejadian-kejadian sejak runtuhnya ekonomi Indonesia pada bulan Juli 1997. Krisis ini bermula di Thailand karena jatuhnya nilai tukar mata uang Baht terhadap Dollar AS. Jatuhnya nilai mata uang Baht ini berimbas ke negara-negara Asia lainnya dengan Indonesia dan Korea Selatan mengalami efek terburuk dari krisis moneter Thailand.
Bantuan moneter yang diberikan IMF pada bulan Oktober 1997 untuk meredam krisis ekonomi terbukti tidak membantu dan malah memperparah keadaan. Perusahaan-perusahaan terpaksa memulangkan banyak karyawannya, mengakibatkan 20% masyarakat Indonesia kehilangan pekerjaan. Hal ini diikuti dengan masyarakat yang memborong bahan sembako di awal tahun 1998 karena ketakutan akan krisis. Pemborongan ini menyebabkan harga-harga barang-barang naik dan membuat masyarakat semakin gelisah. Menanggapi kegelisahan masyarakat, mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pemerintah — atau dalam hal ini Suharto — untuk turun dan membereskan permasalahan ekonomi. Demo-demo mahasiswa semakin menjamur ketika Suharto diangkat lagi menjadi presiden tanggal 10 Maret 1997.
Bulan Maret-April diwarnai dengan demo mahasiswa yang menuntut Suharto untuk turun tahta. Malang, demo-demo ini berakhir dengan mahasiswa luka-luka dan sebagian meninggal. Seperti demo di Universitas Sebelas Maret tanggal 23 Maret 1998 yang mengakibatkan 25 orang mahasiswa luka-luka akibat bentrok dengan aparat dan Moses Gatutkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang meninggal ketika mengikuti demo menuntut Suharto turun tanggal 8 Mei 1998. Rentetan mahasiswa yang meninggal ketika mengikuti demo tak terhenti di situ: empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak oleh aparat tak dikenal ketika berdemo damai di halaman kampusnya sendiri. Kematian keempat mahasiswa tersebutlah yang akhirnya memantik kericuhan 13–15 Mei 1998.
13–15 Mei ‘98
Kericuhan tanggal 13 Mei berawal dari kawasan sekitar Kampus Universitas Trisakti di Jl. Daan Mogot, Jalan Kyai Tapa, dan Jalan S. Parman. Awalnya, massa berkumpul di Kampus Universitas Trisakti pada pukul 11.30. Kala itu, ribuan mahasiswa Trisakti sedang berduka di area kampus. Setengah jam kemudian, sebuah truk sampah di perempatan jalan raya dibakar oleh massa. Massa ini kemudian bergerak ke arah Mall Ciputra dan melempari aparat yang menjaga area tersebut dengan botol, batu, dan benda lainnya. Tak berhenti di situ, massa juga menjarah dan merusak mobil-mobil mahasiswa Universitas Tarumanegara dan Universitas Trisakti yang memarkirkan mobil di belakang gedung Mal Ciputra. Setidaknya 15 mobil hangus, 1 mobil terbakar, dan 9 mobil lain hancur.
Kericuhan ini tidak hanya berhenti di sekitar Kampus Universitas Trisakti, namun juga meluas ke daerah lain. Aksi-aksi pembakaran dan perusakan gedung mall, pasar swalayan, toko, dan perumahan mewah pada hari itu melebar di kawasan Bendungan Hilir, Jalan Jendral Sudirman, Kedoya, Jembatan Besi, Bandengan Selatan, Tubagus Angke, Semanan, dan Kosambi. Kerusuhan yang terjadi di sekitar Bendungan Hilir dan Jalan Jendral Sudirman disinyalir terjadi ketika ratusan mahasiswa Unika Atma Jaya menggelar aksi keprihatinan dan dukacita bagi para mahasiswa yang menjadi korban dalam insiden di Universitas Trisakti, sekitar pukul 13.00
Kerusuhan dan penjarahan memasuki hari kedua pada tanggal 14 Mei. Kerusuhan hari itu diwarnai dengan perusakan, pembakaran, penjarahan, dan perampokan di sentra-sentra perdagangan di seluruh wilayah Jakarta. Langit Jakarta diselimuti kabut hitam akibat pembakaran ratusan gedung, pasar, toko, mobil, dan sepeda motor. Ratusan penjarah tewas terpanggang akibat pembakaran pusat-pusat perbelanjaan. Pihak kepolisian mengestimasi korban tewas akibat kerusuhan di Jakarta sekitar 200 orang, belum termasuk 20 orang tewas karena terjatuh saat meloloskan diri dari gedung yang terbakar.
Di hari yang sama, Suharto yang saat itu sedang mengikuti konferensi G-15 di Kairo, Mesir, menyampaikan pidato ke orang-orang Indonesia yang tinggal di Mesir. Pidato tersebut berbunyi:
“Kalau memang rakyat tidak lagi menghendaki saya sebagai Presiden, saya siap mundur. Saya tidak akan mempertahankan kedudukan dengan kekuatan senjata. Saya akan mengundurkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan dengan keluarga, anak-anak dan cucu-cucu. Tetapi, semua itu harus dilakukan secara konstitusional. Kalau ada yang ingin melakukannya secara inkonstitusional, itu berarti mengkhianati Pancasila dan UUD 1945.”
Pada tanggal 15 Mei 1998, Suharto kembali ke Indonesia dan menolak pernyataan bahwa dirinya siap mundur. Namun di saat yang bersamaan ia menyatakan bahwa tidak apa-apa apabila rakyat tidak lagi mempercayainya untuk meneruskan pemerintahan, ia tak akan mempertahankan kepercayaan rakyat dengan menggunakan senjata. Di hari ini pula polisi dan militer akhirnya dapat meredam kericuhan yang terjadi.
Setelah Amuk
Setelah kerusuhan 13–15 Mei, ketua DPR mengadakan rapat darurat [ditambah lagi nanti]. Lalu, pada tanggal 21 Mei, Suharto resmi lengser dari tahta, digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie. Beberapa hari setelah Suharto lengser dan B.J. Habibie naik tahta, tepatnya pada tanggal 2 Juni, Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa mereka mengecam kerusuhan Mei 1998 dan mengimplikasikan bahwa kerusuhan tersebut merupakan kejadian yang disengaja. Usaha untuk membawa keadilan bagi korban-korban kerusuhan Mei ’98 terus diperjuangkan. LSM-LSM seperti Kalyanamitra menempuh dua jalan: pertama, menghubungi PBB dan kedua, memberikan data-data tentang pemerkosaan massal yang berisikan data korban sekitar 150 orang ke Presiden Habibie.
Proses membawa kasus tersebut ke PBB dimulai pada tanggal 27 Mei 1998, tepat setelah Soeharto turun tahta. Dalam membawa kasus ini ke PBB, Kalyanamitra didampingi oleh Asia Pacific Women Law and Development. Sedangkan proses membawa kasus tersebut ke Presiden Habibie terjadi pada tanggal 15 Juli 1998. Pertemuan bersama Presiden Habibie saat itu berlangsung alot. Presiden Habibie menolak negara untuk mengakui dan meminta maaf atas kejadian pemerkosaan massal Mei ’98. Beliau menggunakan dalih pemerintahan Tiongkok yang tidak meminta maaf atas tragedi Tiananmen Square yang membunuh ratusan hingga ribuan mahasiswa yang berdemo untuk demokrasi. Tim relawan tidak menyerah — selama dua jam mereka mendesak Presiden untuk mengusut tuntas kasus Mei ’98. Sikap Presiden baru melunak ketika ia mengingat saudaranya mengungkapkan soal pemerkosaan perempuan Tionghoa. Perubahan sikap beliau ini mengejutkan Jenderal Sintong Panjaitan yang ikut mendampingi beliau di diskusi tersebut. Jenderal Sintong mempertanyakan keputusan Presiden Habibie yang tiba-tiba tersebut, namun ditolak oleh Presiden Habibie. Presiden Habibie kemudian meminta salah satu anggota tim untuk mengetik draft permintaan maaf negara dan juga rekomendasi untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Pada tanggal 23 Juli 1998, TGPF resmi dibentuk. Fungsi dari tim ini adalah untuk meneliti tentang dugaan kerusuhan 13–15 Mei sebagai sesuatu yang direncanakan. Tim ini diketuai oleh ketua Komnas HAM Marzuki Darusman dan beranggotakan pejabat dari militer, kepolisian, agensi pemerintah dan advokat kemanusiaan.
Hasil temuan yang diungkapkan oleh TGPF menunjukkan adanya perbedaan angka korban yang dikemukakan oleh tim relawan independen dengan pemerintah, kepolisian, dan militer berbeda. Tim Relawan mengestimasi angka korban sebanyak 1190 korban yang meninggal akibat terbakar/dibakar, 27 korban akibat senjata dan atau lainnya, 91 korban luka-luka; sedangkan data Polda menunjukkan 451 orang meninggal, korban luka-l’uka tidak tercatat; data Kodam 463 korban meninggal termasuk aparat keamanan, 69 korban luka-luka; data Pemda DKI Jakarta korban meninggal dunia 288 orang dan korban luka-luka 101 orang. Perbedaan estimasi angka korban yang dikeluarkan oleh tim relawan dengan pemerintah, kepolisian, dan militer yang berbeda disebabkan oleh masyarakat terlebih dahulu mengevakuasi korban-korban sebelum pemerintah mengevakuasi mereka.
Sedangkan untuk korban pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, TGPF menghimpun data korban dari titik-titik kerusuhan Mei ’98, yaitu Jakarta, Solo, Medan, dan Palembang. Laporan TGPF hanya mengakui 66 kasus pemerkosaan dan 85 kasus pelecehan seksual terhadap anak perempuan dan perempuan dewasa (Min 2006:50–1; Purdey 2006:146). Angka ini jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan spekulasi tim relawan yang memperkirakan jumlah korban pelecehan seksual dan pemerkosaan selama kerusuhan di Jakarta — utamanya perempuan Tionghoa — adalah 85–400 orang (McCormick 2003:26; Colombijn 2001:34; Tan 2006:233).
Laporan TGPF, meskipun cukup komprehensif dan konklusif, memiliki cukup banyak permasalahan dan kontroversi. Pertama, TGPF gagal dalam menentukan pelaku dibalik kerusuhan Mei ’98, kegagalan mendapatkan angka yang pasti mengenai korban pemerkosaan massal, serta kegagalannya dalam membawa keadilan bagi para korban. Kegagalan-kegagalan ini disebabkan oleh pendeknya waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian (tiga bulan); inkompetensi peneliti dalam melakukan investigasi; ketiadaan definisi yang pasti mengenai korban, pemerkosaan, dan pelecehan seksual; kesulitan melaksanakan penelitian di beberapa kota; kesulitan untuk menemukan korban yang bersedia untuk diwawancarai; dan terakhir, metode penelitian yang kacau karena anggota-anggotanya berasal dari berbagai macam sektor.
Ketiadaan sosok dalang dibalik kerusuhan Mei ’98 di dalam laporan TGPF juga membuat kasus kerusuhan dan pemerkosaan massal Mei ’98 semakin runyam. Pemerintah menolak adanya pelecehan seksual dan pemerkosaan massal yang menargetkan perempuan Tionghoa selama kerusuhan 13–15 Mei 1998. Laporan media dan surat-surat pernyataan yang dikeluarkan oleh kabinet presiden B.J. Habibie, pemerintah Jakarta, pejabat-pejabat militer dan kepolisian, dan yang paling mengecewakan, pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Tuty Alawiyah, yang menuding Ita Martadinata Haryono — salah satu korban dan saksi pemerkosaan Mei ’98 — berbohong. Koalisi-koalisi Islam dan MUI juga menyatakan kecurigaan bahwa kasus pemerkosaan Mei ’98 sengaja dibesarkan-besarkan untuk mendiskreditkan Islam di ranah internasional (Stanley 2006:199).
Adanya kecurigaan dan penolakan terang-terangan mengenai kasus pelecehan dan pemerkosaan dari pihak penguasa membuat media berspekulatif tentang adanya kebenaran kasus pemerkosaan. Kecurigaan dan penolakan ini semakin kencang ketika Republika dan Asia Wall Street Journal menunjukkan bahwa foto-foto pemerkosaan yang tersebar di internet merupakan foto pemerkosaan palsu — beberapa foto yang tersebar merupakan foto kekerasan yang diambil di Timor Leste. Namun bukti foto-foto pemerkosaan yang dilakukan oleh orang-orang berseragam militer di Timor Leste, seperti yang diargumentasikan oleh Julia Suryakusuma, hanya menguatkan dugaan bahwa kekerasan dan pemerkosaan yang terjadi di Mei ’98 merupakan sesuatu yang direncanakan (Winarnita, 2011).
Proses penegakan keadilan di ranah internasional juga terpaksa dihentikan karena beberapa hal. Pertama, terbunuhnya Ita Martadinata Haryono, satu-satunya penyintas pemerkosaan Mei ’98 yang bersedia menjadi saksi. Ita terbunuh di kamarnya sendiri pada tanggal 9 Oktober 1998. Laporan kepolisian menyatakan bahwa Ita dibunuh oleh pecandu narkoba — yang rupanya tetangganya sendiri — yang ingin merampok rumahnya. Namun, klaim kepolisian ini ditolak mentah-mentah oleh tim relawan karena timing kejadian. Pembunuhan Ita terjadi empat hari sebelum Ita dan ibunya, Wiwin Haryono, beserta empat korban kerusuhan Mei ’98 lainnya, berangkat ke Amerika Serikat untuk memberikan kesaksian mereka di depan Kongres Amerika Serikat.
Pembunuhan Ita membuat investigasi internasional mengenai pemerkosaan massal terhenti. Tak hanya itu, tim relawan juga menerima ancaman dari berbagai pihak karena membawa kasus pemerkosaan massal ke PBB. Hal ini dianggap mengotori nama Indonesia di mata dunia internasional. Dengan terbunuhnya Ita dan pemerintah, militer, dan media yang abai hingga menolak adanya kejadian pemerkosaan massal, pencarian keadilan bagi korban pun kandas begitu saja.
Politik Mengingat Mei ‘98
Hingga saat ini, aktivis kemanusiaan masih berusaha untuk mencari keadilan bagi para korbannya, dimulai dari membangun kesadaran publik tentang pemerkosaan Mei ’98. Publik paham bahwa di kerusuhan Mei ’98, banyak orang yang mati terbakar di gedung-gedung kantoran dan mall-mall, namun nampaknya sedikit yang mengetahui mengenai pemerkosaan massal yang melibatkan puluhan hingga ratusan perempuan Tionghoa. Hilangnya — atau tiadanya — memori kolektif akan pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa di kerusuhan Mei ’98 menunjukkan minimnya kesadaran masyarakat akan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan.
Kasus pemerkosaan massal Mei ’98 merupakan kasus yang spesifik karena korban memiliki dua identitas: identitas pertama sebagai perempuan yang notabene menduduki posisi yang lebih rendah di tangga relasi kuasa masyarakat patriarkis dan identitas kedua sebagai orang Tionghoa yang didiskriminasikan oleh pemerintahan Orde Baru karena dianggap bukan masyarakat Indonesia “asli”. Dua identitas ini menempatkan korban pemerkosaan dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ditambah, para korban ini merupakan korban pemerkosaan, sebuah kejahatan yang sangat mengerikan. Pemerkosaan lebih biadab dibandingkan dengan pembunuhan karena yang terpengaruhi oleh kejadian tersebut bukan hanya korban, tetapi juga komunitas korban. Bagi korban pemerkosaan, ia harus menanggung konsekuensi seperti kehilangan harga diri, trauma yang mendalam, stigma buruk dari masyarakat, penyakit seks menular, hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan untuk komunitas yang perempuan-perempuannya diperkosa, ini merupakan sebuah pukulan mental karena ini menandakan mereka tidak bisa melindungi perempuan-perempuan mereka. Sejatinya pun, perkosaan bukanlah tindak pidana yang bisa diselesaikan begitu saja. Perkosaan adalah tindakan agresi dan pencabutan hak paling individual di setiap manusia, yakni otoritas atas tubuhnya sendiri. Dengan demikian, perkosaan massal jelas menjadi sebuah sinyal dan hantu-hantu trauma bagi para korban, karena seolah diingatkan bahwa mereka tidak berhak atas apapun termasuk ketubuhannya sendiri.
Mengapa pemerkosaan massal bisa menghilang dari memori kolektif masyarakat umum tentang peringatan Mei ’98? Memperingati kasus pemerkosaan massal sangat sulit karena akan mengingatkan publik tentang kerusuhan Mei ’98 yang mana akan menimbulkan rasa malu, marah, dan bersalah (Suryakusuma 2004:225). Sehingga daripada harus menghadapi hal tersebut, publik lebih memilih untuk diam, memperlakukan pemerkosaan massal ini sebagai trauma nasional yang tidak boleh untuk diperingati dan dibawa ke publik. Namun, aksi diam ini hanya malah mempersulit akses korban untuk mendapatkan keadilan yang harusnya mereka dapatkan. Dibawanya kasus pemerkosaan massal dan pembunuhan Mei ’98 ke pengadilan nantinya tak akan hanya berimbas ke korban-korban Mei ’98, tetapi juga ke korban-korban kebiadaban massa lainnya, seperti korban-korban G30SPKI.
Jika korban/penyintas memang ingin diam dan menghilang, maka itu adalah hak perogatif ia sebagai korban yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan dialog pribadinya dengan trauma-trauma sebagai korban perkosaan. Namun, diamnya korban/penyintas tidak sama dengan diamnya masyarakat. Diamnya masyarakat adalah penormalisasian; sebuah pendisiplinan terhadap upaya-upaya melawan agresi terhadap tubuh individu. Dan selagi kita tidak mau mengakui ada dua hari di mana kita melawan semua konsep-konsep rasionalitas, logika, dan welas asih ‘ketimuran’ yang selama ini dibangga-banggakan tersebut, dan menolak untuk melakukan sesuatu terhadapnya, maka jangan heran ada Ita Haryono lain di masa depan. Semua kemarahan ini, semua parade kebusukan sistem ini, dan kami hanya ingin melawan dan menolak hidup dalam selimut kedamaian palsu.
Sumber :
https://medium.com/merah-muda-memudar/mohon-izin-untuk-membunuh-dan-memperkosa-bara-mei-98-dan-kesunyian-setelahnya-beb42ced1b0b
Komentar
Posting Komentar